Ki Bagus Hadikusumo dan Dasar Negara Pancasila

Presiden Jokowi menetapkan lima nama pahlawan nasional baru. Berdasarkan Keppres No. 116/TK/Tahun 2015 tertanggal 4 November, mereka adalah: Benhard Wilhem Lapian, Mas Isman, I Gusti Ngurah Made Agung, Komjen Moehammad Jasin, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Untuk mengenang sebagian jasa mereka, tulisan ini bermaksud mengungkap sepenggal kisah mengenai peran penting Ki Bagus Hadikusumo dalam perumusan dasar-dasar negara Indonesia merdeka pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia.

Pemerintah Jepang, setelah menyadari hampir tidak mungkin memenangkan Perang Dunia II, semakin memberi kesempatan para tokoh pergerakan untuk mempersiapkan pranata bagi sebuah Negara Indonesia yang merdeka. Karena itu, kesempatan yang lama ditunggu-tunggu oleh kaum pergerakan untuk berkumpul guna merancang suatu negara merdeka, terwujud pada 28 Mei 1945 dengan berdirinya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Badan yang terdiri dari 62 anggota tersebut diberi kebebasan besar oleh Pemerintah Jepang untuk membicarakan persoalan-persoalan konstitusional. Bagi para pendiri bangsa tersebut, inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penderitaan selama masa pendudukan Jepang tidaklah sia-sia.

Dilihat dari sisi jumlah, komposisi BPUPKI menempatkan gagasan kelompok nasionalis sekuler sebagai pihak dominan. Pihak yang kurang terwakili adalah pulau-pulau luar Jawa, kaum Marxis berorientasi Barat, dan terutama kaum nasionalis Muslim. Dari jumlah itu, hanya sekitar 11 orang mewakili kelompok Islam, termasuk di antaranya tokoh-tokoh Muhammadiyah, yakni Mas Mansur (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1942-1953), dan Abdul Kahar Muzakkir.

Pembicaraan dalam BPUPKI mengenai dasar negara bagi Indonesia yang akan merdeka memunculkan tiga konsep, yakni Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi. Namun konsep terakhir tidak terlalu menjadi bahan perbincangan, karena larut dalam perdebatan ideologis antara dua konsep pertama.

Perdebatan ideologis itu sebenarnya telah muncul sejak era kebangkitan nasionalisme di awal abad ke-20. Pada masa itu, kaum nasionalis dari berbagai latar belakang etnis, daerah, dan ideologis bersatu dalam dua buah keyakinan yang sama: suatu negara-bangsa Indonesia dapat menciptakan modernitas, dan penjajah Belanda menghalangi aspirasi itu. Koalisi ini mencakup tiga pandangan utama, yakni Marxis, Muslim, dan developmentalis (Cribb: 2001, 32-37).

Ketegangan antar visi modernitas itu terus berkembang, khususnya antara kalangan Muslim dan developmentalis, pada 1930-an. Sampai awal 1940-an, polemik tersebut berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme dan menyentuh masalah lebih penting, yakni hubungan politik antara Islam dan negara. Kelompok pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideologi negara. Sedang kelompok kedua mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional di mana persoalan negara dipisahkan dari persoalan agama.

Dalam konteks demikian, BPUPK sekedar menjadi arena baru bagi ketegangan lama. Sejauh menyangkut pola relasi Islam dan negara, tampak jelas bahwa mereka mengikuti pola perdebatan yang sama sebagaimana beberapa dasawarsa sebelumnya. Pertarungan ideologis itu berlangsung secara tajam namun konstruktif dalam pertemuan-pertemuan BPUPK selama akhir Mei hingga pertengahan Juli 1945.

Dalam sidang-sidang ini, pihak nasionalis sekuler memunculkan dua konsepsi yang substansinya hampir serupa, yang masing-masing memandang bahwa negara harus netral terhadap agama, yakni lima asas versi Yamin dan lima sila versi Sukarno. Sementara itu, kalangan Islam terus mempromosikan konsep Islam sebagai dasar negara. Dalam konteks ini penting untuk sekilas melihat konsepsi yang diajukan oleh Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945.

Dalam sidang tersebut, Ki Bagus mengajukan konsep tentang “membangun negara di atas dasar ajaran Islam”. Menurutnya, pertama, Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara Indonesia ini. Dan kedua, umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita luhur dan mulia sejak dahulu hingga masa yang akan datang, yaitu di mana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangun negara atau menyusun masyarakat yang berdasarkan atas hukum Allah dan agama Islam (Syaifullah: 1997, 101-102).

Gagasan Ki Bagus tersebut tampaknya didasarkan pada alasan sosiologis-historis dan pemahamannya yang kuat atas ajaran Islam. Ki Bagus beralasan bahwa Islam setidaknya telah enam abad hidup dalam masyarakat Indonesia, atau tiga abad sebelum datangnya kolonial Belanda. Sehingga ajaran dan hukum Islam telah inheren dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan banyak aspek hukum Islam telah bertransformasi menjadi adat istiadat di banyak suku bangsa Indonesia.

Selain itu, Ki Bagus juga mengungkapkan realitas sejarah di mana gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda di berbagai wilayah Indonesia hampir selalu dipimpin tokoh-tokoh Islam, seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dan lain lain yang mendasarkan perjuangannya atas ajaran Islam. Selain aspek sosiologis-historis itu, Ki Bagus juga mengajukan argumennya berdasarkan pemahamannya atas ajaran Islam, yang ia yakini tidak hanya mengatur masalah ritual, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh.

Dengan pemahaman keagamaan dan politik demikian, dapat dimengerti jika Ki Bagus Hadikusumo pada awal kedatangan penjajah Jepang telah menunjukkan perlawanannya yang keras. Ceritanya, setelah beberapa bulan menduduki Indonesia, Jepang mulai menerapkan beberapa aturan baru bagi para pegawai dan siswa (sebelum masuk kantor dan ruang kelas) untuk melakukan senam, sumpah setia, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, lalu melakukan seikirei, yakni penghormatan kepada Tenno Haika yang bertahta di Tokyo dengan cara membungkukkan badan, sebagaimana orang ruku’ dalam salat.

Karena aturan ini merisaukan umat Islam, maka Muhammadiyah memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan membuat keputusan bahwa umat Islam tidak boleh melakukan seikirei karena menyimpang dari ajaran tauhid. Keputusan Muhammadiyah tersebut segera tersiar luas dan ternyata diindahkan oleh sebagian besar umat Islam. Akibat perlawanan ini, Ki Bagus Hadikusumo dipanggil oleh Gunseikan (Gubernur Militer Jepang) di Yogyakarta.

Ketika ditanya mengenai pemboikotan oleh Muhammadiyah itu, maka dengan tegas Ki Bagus menjawab bahwa seikirei dilarang menurut ajaran Islam, karena umat Islam hanya memberikan penyembahan kepada Tuhan. Setelah melalui dialog panjang lebar, Gunseikan dapat memahami alasan Ki Bagus. Gunseikan lalu menyatakan bahwa jika Muhammadiyah keberatan melakukan seikirei, maka tidak akan dipaksa untuk melakukannya.

Sejak itu, seikirei tidak diwajibkan bagi siswa-siswa sekolah Muhammadiyah (yang hingga akhir 1930-an mencapai 388 buah, terbesar di antara organisasi pergerakan nasional lain), meskipun masih tetap diberlakukan di sekolah-sekolah lain (Majelis Diktilitbang dan LPI: 2010, 113-114).

Setelah melalui perdebatan yang alot, hingga akhir masa sidangnya BPUPK tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai dasar negara Indonesia (Badan ini lalu dibubarkan, dan kemudian dibentuk sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia[PPKI]). Dan untuk menjembatani perbedaan itu, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari sembilan tokoh, yang terdiri dari: Sukarno, Hatta, Subardjo, Yamin, Abikusno, Kahar Muzakkir, Agus Salim, Wahid Hasyim, dan Maramis.

Dalam sebuah rapat yang alot pada 22 Juni 1945, Panitia 9 dapat mencapai suatu kesepakatan yang dimaksudkan sebagai Pembukaan UUD, atau setidak-tidaknya sebagai suatu kertas kerja untuk membahas masalah itu lebih lanjut. Beberapa minggu kemudian Yamin menyebut dokumen politik tersebut sebagai Piagam Jakarta (Anshari: 1983).

Piagam Jakarta berisi pengesahan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan pada sila pertama sehingga menjadi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kesepakatan tersebut sempat ditolak kalangan nasionalis, namun akhirnya dapat diterima setelah Sukarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban demi persatuan bangsa.

Namun sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, kesepakatan ini digugurkan atas usul Hatta berdasarkan laporan dari seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang menyatakan bahwa orang-orang Kristiani di wilayah timur Indonesia tidak akan bergabung dengan RI jika unsur-unsur formalistik Islam dalam Piagam Jakarta tidak dihapus.

Usulan Hatta ini disepakati oleh beberapa tokoh Islam, sehingga tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tokoh-tokoh Islam yang dimintai persetujuan itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hassan.

Persoalan ini penting untuk diulas guna mengetahui mengapa tokoh-tokoh Islam tersebut bersedia menerima tawaran Hatta untuk menghapus tujuh kata yang telah disepakati melalui perdebatan alot. Berdasarkan sebuah penelitian (Anshari: 1983, 48), Wahid Hasyim pada saat itu sebenarnya tidak hadir, meskipun Hatta menyatakan bahwa Wahid Hasyim turut hadir. Mengenai Mohammad Hassan, dapat dipahami jika ia menerima penghapusan “tujuh kata” tersebut mengingat ia sama sekali tidak bisa dimasukkan dalam kelompok nasionalis Islam, dan apalagi ia sama sekali tidak terlibat dalam BPUPKI maupun Panitia 9.

Mengenai Kasman Singodimejo (Ketua Muhammadiyah Jakarta), yang merupakan anggota tambahan PPKI, ia menerima undangan mendadak pada pagi harinya, sehingga ia tidak cukup siap untuk membicarakan masalah itu. Apalagi Kasman bukan pula anggota BPUPKI maupun Panitia 9. Namun demikian, Kasman sangat berperan dalam melunakkan Ki Bagus yang berusaha keras mempertahankan “tujuh kata” sehingga Ki Bagus akhirnya mau menerima penghapusan kalimat tersebut.

Karena itu, seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penentuan UUD sebenarnya terletak pada pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya elemen perjuangan Islam pada waktu itu. Ditambah lagi, Ki Bagus adalah anggota BPUPKI, PPKI, meskipun bukan anggota Panitia 9.

Menurut sebuah penelitian, dalam suatu pertemuan PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Kasman mengatakan dengan berkaca-kaca bahwa ia merasa sangat berdosa karena dialah kunci yang melunakkan hati Ki Bagus ketika bertahan pada pencantuman “tujuh kata”. Ketika itu, Kasman mengatakan kepada Ki Bagus bahwa Belanda sedang thingil-thingil dan thongol-thongol (sedang bersiap dari kejauhan) menyerbu dan merebut kembali Indonesia yang baru merdeka (Syaifullah: 1997, 124).

Karena itu logika yang diajukan oleh Kasman untuk meyakinkan Ki Bagus adalah alasan keamanan nasional, di mana kemerdekaan bangsa yang masih sangat muda sedang terancam. Selain itu, Kasman juga meyakinkan Ki Bagus bahwa UUD tersebut bersifat sementara, sebagaimana dikatakan Sukarno pada awal penyampaian pengantar setelah membuka rapat PPKI pada 18 Agustus siang harinya.

Sementara itu, sebuah penelitian lain mengajukan analisis yang hampir serupa mengenai kesediaan tokoh-tokoh Islam menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Effendy: 1998, 90-91). Pertama, dimasukkannya kata-kata “Yang Maha Esa” dapat dilihat sebagai langkah simbolik  untuk menunjukkan kehadiran unsur monoteistik Islam dalam ideologi negara. Bagi tokoh-tokoh Islam tersebut, sifat monoteistik tersebut merupakan cermin dari (atau sedikitnya sejalan dengan) prinsip tauhid dalam Islam.

Kedua, situasi yang berlangsung menyusul Proklamasi Kemerdekaan mengharuskan para pendiri republik untuk bersatu menghadapi masalah-masalah lain. Yang paling penting di antaranya adalah upaya Belanda untuk kembali menduduki wilayah Nusantara.

Selain itu, kesediaan para tokoh Islam tersebut tampaknya juga didorong oleh rasa optimisme karena jumlah konstituen yang besar, sehingga mereka percaya bahwa melalui pemilu yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat, mereka masih memiliki kesempatan untuk secara konstitusional menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Demikianlah, suatu Indonesia baru telah lahir, bukan sebagai negara Islam sebagaimana digagas oleh tokoh-tokoh Islam, dan juga bukan negara sekuler yang memandang agama hanya masalah pribadi. Ketegangan akibat pertentangan ideologis ini telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas religiusitas dan ingin bersifat positif terhadap semua agama.

Jadi penyelesaian secara Indonesia dari masalah ideologis ini bukanlah suatu konstitusi yang mempergunakan idiom-idiom khas Islam, tetapi penerimaan nilai-nilai spiritual milik bersama (Bolland: 1985, 40-41). Namun demikian, konsep ini dapat dianggap sebagai suatu konsep yang pada dasarnya bersifat Islami, tetapi telah dilepaskan dari ajaran agama agar bisa diterima oleh kalangan non-Muslim (Nieuwenhuijze: 1958, 208). Dan salah satu tokoh yang berperan penting dalam kompromi politik-ideologis itu adalah Ki Bagus Hadikusumo.

Pramono U Tanthowi.

Sumber: detik.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.